Post kali ini pernah saya publikasikan kepada salah seorang senior, teman baik, teman curhat (terkadang, berhubung sekarang dia udah punya pegangan.. udah jarang banget cerita), terkadang dia mengerti apa yang saya maksud (padahal orang lain ngga nalar), sama-sama suka bikin ketawa orang di sekeliling, dan yang pasti, kita sama-sama aspek bangsa yang berbudi luhur dan rajin menabung (di kamar mandi, red).
Jangan pernah masukin hati tentang apa yang udah saya tulis. Karena sewaktu menulis ini pun saya mikirnya pakai otak, bukan pakai hati. Buat hatinya, simpan saja untuk orang yang disayang.
Kecup Basah, Emwah.
Nindy Middleton.
Tanah tersiram Hujan.
Bau
tanah tersiram hujan memang sulit untuk dilukiskan dengan deretan bait puisi.
Apa ya… lebih tepatnya bingung harus mengatakan bau atau harum. Bau, ya karena
memang bukan berasal dari parfume yang notabene wanginya sudah disensor oleh lisensi
badan-keparfume-an seluruh dunia, namun wangi karena memang menurut saya wangi.
Well, menurut saya pribadi tidak banyak orang yang menyukai aroma tanah
tersiram hujan. Karena, tidak bisa dipungkiri bagi sebagian orang, wangi tanah
tersiram hujan adalah wangi debu. Wangi polusi atau wangi udara yang kotor.
Namun, saya bukanlah satu dari kumpulan tersebut. Karena saya berpikiran tanah
tersiram hujan itu ibarat sebuah anak manusia yang mendapatkan pencerahan.
Terlebih lagi, jika tanahnya kering. Kering sekali. Ibaratnya akan lebih dari
anak manusia yang mendapatkan pencerahan, tetapi seperti seseorang yang
menemukan jalan buntu lalu mendapatkan hidayah. Oke, ilustrasi terakhir yang
saya berikan nampaknya lebih dari ketawanya Soimah. Lebay. Tapi, jika anda
masih penasaran dengan waangi tanah tersiram hujan bisa langsung mengalaminya
sendiri. Namun, tidak semua tanah dan air hujan bisa menghasilkan wangi yang
saya maksud. Hujannya harus intensitas rendah namun terlihat seperti hujan
eropa. Tanahnya juga harus tanah kering. Pergilah ke atas bukit yang gersang,
dan nantikan hujan yang turun seperti di benua eropa. Jangan lupa bawa tikar. Nikmati
sensasinya..
Ketawa Soimah.
Nah,
berbicara tentang ketawa Soimah kali ini saya akan sedikit mendeskripsikan
beberapa pendangan saya tentang ketawa artis-papan-atas tersebut. Naaah, mulai
dari sini. Mulai dari waktu dimana saya pertama kali mengenal Soimah karena
menonton televisi (jadi sebenarnya saya hanya kebetulan aja, kalo waktu itu
dengernya radio mungkin aja sampe sekarang ngga tau Soimah yang mana). Well,
menyoal tentang ketawa beliau yang begitu artistic, menurut saya sih kurang
lebih seperti itu. Ada sebagian orang yang tentunya tidak setuju dengan
pendapat saya, tentu. Karena bagi sebagian orang, ketawa beliau sangat
bertentangan dengan ketawa perempuan dalam ketentuan agama. Namun, menurut
saya..setiap orang yang ingin mencipatakan hiburan pastilah akan menjadi sebuah
statement yang serius di lingkungan populasi yang lain. Mengutip peryataan yang
menurut saya penting, dari seorang Stephenie Meyer : “setiap yang seseorang
lakukan pastilah saja bertentangan dengan kepentingan orang lain disekitarnya.
Lakukan apa yang menurutmu benar dan jangan terlalu pedulikan orang lain.”.
menurut saya, Soimah selayaknya memiliki porsi yang sama dengan artis-artis
lainnya. Dia wajar melakukan inovasi-inovasi baru demi kelangsungan kariernya.
Dan setiap artis wajar melakukan sesuatu yang baru yang tentunya menarik
perhatian masyarakat. Lagi-lagi itu semua demi kelangsungan karier sang artis
tersebut di panggung entertainment. Back to the topic, so far saya menganggap
ketawa Soimah masih wajar karena dia pernah berkata dalam satu situasi talk
show malam, bahwa dia (Soimah) memang membangun karakter dalam kamera dengan
riwayat orang kampungan, karena dikisahkan Soimah memang dari kampung. Semua
cerita itu benar, Soimah memang dari kampung dan ia merintis kehidupannya
sampai memiliki suami yang setia mendampingi kemanapun ia pergi sampai dua
orang jagoan yang sangat ia cintai. Saya salut dengan transparansi jiwa Soimah
yang berkata jujur kepada pemirsa bahwa memang karakternya tidak seperti itu
ketika berada di rumah. Jujur, belakangan saya baru ketahui bahwa Soimah
dulunya adalah rekan om saya dia adalah salah satu sinden di perkumpulan music campur
sari yang seringkali manggung di acara hajatan di daerah jawa. Back to the
topic (again), paati anda bertanya-tanya mengapa saya begitu terkesan membela
Soimah. Well, saya ngga dibayar untuk membela beliau yaaa.. karena saya bukan
nindy paris hutapea, jadi saya hanya ingin membuat penikmat acara televisi agar
tidak terlalu mendramatisir apa yang dilakukan artis-artis. Anggap saja mereka
sedang bermain drama musical, yang kita nikmati dari bangku penonton tanpa
harus mengacungkan tangan untuk melayangkan pertanyaan seperti yang dilakukan
di kelas matematika. Ketawa Soimah dimata saya adalah bentuk ide kreatif yang
bersifat artistic. Dengan ketawanya, ia mampu menarik rating dari acar televisi
yang ia hadiri. Tentu, karena ketawanya ini pulalah yang membuat Soimah bisa
survive sampai hari ini di dunia entertainment. Saya tidak perlu mengatakan
lebay karena memang lebay, yaaa. But overall, saya tidak terlalu memikirkan
ke-lebay-an itu karena menurut saya, lebay yang diungkapkan oleh orang-orang
tidak sebanding dengan realita nyata seorang Soimah dalam menjalani hidupnya.
Yaaa, bahasa kasarnya sih gini.. “sesama pencari uang, dilarang saling silang.”
Kalimat terakhir saya rasa-rasanya seperti sepenggal moment di dunia
perpolitikan Indonesia saat ini yaaaa, pencalonan presiden dan saling silang.
Hihihi :*
Politik
Saling-Silang.
Saya akan mengulas secara pendek tentang
politik saling-silang yang saya maksudkan disini. Pendek loh yaaaa, pendek.
Iya, jadi…menurut saya, politik saling-silang adalah keadaan politik dimana
orang-orang yang duduk di politiknya itu saling-silang. Kita sebagai
“yang-nonton” udah ngga tau mana yang salah mana yang bener. Karena apa yang
kadang menurut kita salah ternyata benar. Sementara yang menurut kita benar
selama ini ternyata melakukan kesalahan yang cukup besar. Kit udah ngga tau
yang mana yang ada di garis hitam dan putih, karena semuanya abu-abu. Dan semuanya
ada di pihak yang tidak tranparan, seperti diselimuti selimut wol dari kulit
domba new Zealand. Kadang, karena sudah serngkali seperti ini, masyarakat
sebagai yang-menonton sudah tidak tahu harus berpihak kepada siapa, seperti
menonton pertandingan sepak bola yang kedua timnya adalah tim yang dibenci oleh
semua masyarakat dunia. Kejam sekali ya penggambaran seperti itu, namun menurut
saya yaaaa, memang seperti itu keadaannya. Terkadang saya bingung, apasih yang
menjadi tujuan mereka ketika mereka duduk dibangku politik. Toh menurut saya,
bangkunya panas. Panas dalam artian, tidak nyaman ketika menutup mata dengan
realitas yang ada. Realitas bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya
merasakan dampak dari sistem pemerintahan Indonesia itu sendiri. Kadang saya
tidak berhenti bepikir, bagaimana bisa seorang pejabat minum air putih dengan
gelas berkaki, padahal beberapa bagian lain dari masyarakatnya sendiri
jarang-jarang meminum air putih yang benar-benar sehat. Tapi, jika kita
berbicara tentang hal ini tidak akan pernah ada ujungnya. Satu hal yang masih
membuat kita berbangga hati adalah keadaan alam Indonesia. Obat dari segala
penyakit pikiran ya, sepertinya.. :*
Alam
(Indonesia) = Obat?
Kata-kata yang menyeruak dalam pikiran saya
ketika menyebut alam (Indonesia) adalah obat, merupakan suatu pandangan yang
pastinya disetujui setiap orang. Bukan saja mereka yang menjadi penduduk
Indonesia. Saya yakin, justru sebagian besar penduduk Indonesia belum pernah
menjamah kekayaan alam Indonesia yang pastinya telah didatangi orag-orang asing
yang kemudian mengabarkannya sehingga penduduk Indonesia menjadi tau. Tidak
bisa kita pungkiri bahwa alam Indonesia adalah satu plasma nutfah warisan dan
tentunya adalah goresan kebesaranNya. Cukup nyinyir jika selalu membicarakan
tentang alam Indonesia yang menurut saya layaknya menonton film box office.
Ditonton karena kualitasnya. Sedang yang tidak berkualitas? Ya, tinggalkan
saja. Kasian. Jelas. Miris jika mengingat lagi dan lagi tentang kekayaan alam
Indonesia yang selalu menjadi keindahan tak berdosa dan kadang menjadi limpahan
dosa yang duduk-duduk.