Selasa, 21 Februari 2017

Kenalan Lagi?

Halo!
Duh, udah lama banget ngga nulis. Rindu ya rasanya. (sapa juga nin yang baca..)
Btw udah hampir setaun lebih ya kalo dirasa-rasa aku ngga nulis, dan dipublikasikan maksudnya. Tulisan terahir tentang pengalaman (sangat) tidak menyenangkan akhirnya harus di un-publish atas kesadaran diri sendiri “kayaknya udah gapantes di publish deh” plus juga atas request dari calon suami hahahaa. Katanya, “ih apaan banget sih apus aja!” hahahaa
Pertama, anggep aja postingan hari ini sebagai perkenalan lagiya. Nindy mulai hari barunya nindy. Nindy masih tetep pakeye tapi nindy yang sekarang udah agak bisa lebih anggun (serius lho.)
Kedepannya mungkin Nindy bakal sharing tentang beberapa hal yang terjadi dalam hidup tapi mungkin penyampaiannya bakal “lebih nindy” yang serius serius santai gitu. Hmm.. apalagi ya, ohiya mungkin juga kiedepannya bakal ada konten masak masak. Ihirrrr..
Ini juga akhirnya nindy flooring disini karena ya emang atas request dari beberapa teman yang pengen resep yang nindy share ngga cuman subur di IgStory J
Okedeh, mungkin sekian dulu ajaya.

Salam hangat selalu,

-nindypakeye-

Selasa, 18 Agustus 2015

Tentang Dilan

Hari ini hari yang sangat cerah menurutku. Hari bersejarah. Akhirnya aku khatam membaca Dilan jilid kedua. Waktu terasa begitu cepat. Mengingat mundur, saat pertama kali aku mengetahui Dilan dari Bang Soni, kemudian lama aku tidak bertemu lagi dengan Dilan.. sampai akhirnya takdir mempertemukanku dengan Dilan saat Riki membelinya.

Bagiku, sulit rasanya untuk tidak jatuh cinta dengan Dilan dan terpesona dengan Milea. Setelah kubuka 3-4 halaman Dilan dan kutaro kembali di meja belajar Riki. Sampai pada akhirnya ketika orang-orang mulai ramai membicarakannya, dan disitu pulalah keinginanku muncul kembali untuk membaca Dilan.

Bedanya kali ini, aku tidak hanya berapi-api membaca 3-4 halaman saja. Lebih dari itu, aku merasakan adanya suatu pesona –entah darimana datangnya- yang berhasil membuatku jatuh cinta, dengan halaman-halaman berikutnya (tentu saja aku tidak akan menyebut Dilan karena Dilan bagiku hanya milik TuhanNya dan Milea). Baru saja setengah buku kunikmati, saat aku mampir ke toko buku –dan aku bingung harus membeli buku apa karena begitu banyak buku satir yang jika kubeli hanya akan memberatkan otakku saja- aku melihat Milea dalam cover Dilan : Dia adalah Dilanku tahun 1991, Jilid kedua.

Selesai membaca Dilan bercover biru, sungguh.. ada emosi lain yang kurasakan. Aku semakin merasa bahwa Dilan dan Milea bukan sekedar ada. Tapi mereka hidup. Dalam hati pembacanya. Mereka begitu nyata, dalam isi kepala kita.. pembacanya. Khawatir membaca Dilan jilid kedua membuat nagih, karena cover biru saja sudah cukup membuatku dan seluruh aliran darahku terlalu nge-fans dengan Dilan! Maafkan aku Milea..

Karuan saja, tanteku sempat memberikan spoiler –sedikit- bahwa Dilan jilid kedua : sedih. Dan benar saja. Hari ini, aku sudah berhasil mengkhatamkan Dilan. Dan semua rasanya menjadi satu. Tak dapat kupungkiri dan benar saja jika banyak dari pembaca yang merasa bahwa sang penulis membuat emosi pembacanya ikut hadir dalam plot cerita.

Aku ikut merasakan bagaimana keadaan jalan Buah Batu tahun 1990-1991. Aku ikut merasakan kehadiran Milea (yang ntah sekarang dimana) saat aku mengarungi jalan Macan dan menoleh ke arah Mih Kocok Mang Dadeng. Selalu, aku berusaha melihat satu per satu secara detail deretan rumah-rumah didepan Rumah Sakit Muhammadiyah itu.

“Yang mana ya rumahnya Milea?”

                Ke-apik-an penulis untuk menggambarkan rute, keadaan, kondisi dan gambaran dulu dan masa kini terhadap tempat kejadian bersejarah Dilan dan Milea tentu saja membuat kita ikut merinding. Right? Penulis menurut saya berhasil mengemas kisah klasik cinta remaja SMA dengan konflik yang sungguh nyata dan kita yang membacanya tidak eneg untuk membayangkannya.

                Kebetulan, karena Mamaku berasal dari sumatera dengan suku jawa melayu maka aku seringkali membayangkan bagaimana jika sosok Bunda benar-benar ada. Terkadang pula, aku seringkali bertanya, sosok Wati-Piyan-Rani.. saat ini seperti apa dan mereka siapa sebenarnya?

                Jangan Tanya tentang penasarannya aku bagaimana aslinya Dilan dan Milea ya. Karena aku sungguh tak tahu. Aku sadar bahwa segala jenis identitas dalam tokoh sebuah buku adalah batasan dan hak yang dimiliki oleh sang penulis. Aku pun tahu bahwa itu semua disamarkan (jika memang mereka ada dan nyata-bukan fiksi. Red) untuk menjaga kredibilitas atau hajat hidup orang yang bersangkutan.
                Terlebih jika memang yang diceritakannya itu seperti kehidupan masa lalu penulis (jika memang benar.) dan aku sangat setuju dengan Ayah Pidi tetang salah satu quotenya : cinta itu indah..jika bagimu tidak mungkin kau salah milih pasangan.


                Well, terimakasih Dilan. Kau membuat aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang Milea. Yang pernah menerima kado berupa buku TTS –yang sudah diisi-, menerima coklat dari orang-orang yang tidak kamu kenal dengan berbagai macam profesi mereka, menerima dan ikut menandatangani surat bermaterai yang berisi deklarasi jadian dengan Dilan, pernah memiliki pacar yang super duper gentle dan dia tiada lain tiada bukan adalah seorang panglima tempur geng motor, pernah menjadi cewek bandung dengan pacar yang keren (saat itu), dan lebih tepatnya lagi : kenal dengan Dilan! Yang aku yakini, kau-Milea.. tidak akan ernah menyesal melalui hari dengannya..




(Buat yang penasaran dengan Dilan, langsung saja ke toko buku terdekat (ya harus yang dekat lah ya, kalo jauh namanya LDR.) dan siap-siaplah untuk terpesona dengannya!

Selasa, 15 April 2014

Takdir Allah swt Pasti Baik.

            Selama ini sudah hampir banyak pertanyaan, “Nin..mana pacarnyaaa? Pacarnya Riki aja, tante tau..” atau ngga, “Cobaaa, yang lagi deket tuh dikenalin ke Mamanya..” sampe udah frontal banget, “Jek, cariin si Nindy pacarlah. Temen kantor aja, yang udah kerja ya.” Sampe-sampe.. kalo ada sodara atau anak temennya Papa yang nikah, “Nindy nyusul ya..”
            Dulu sempet kesel, sampe bosen digituin terus. Lama-lama ikhlas dan berpikir ada hikmah besar dibalik semua ini. bapak-bapak, ibu-ibu, oma-opa, tante-om.. tenang aja..Nindy masih suka lakik kok. Yang ngedeketin sebenernya banyak (bisalah dibikin boyband) tapi kan Nindy udah bosen main pacar-pacaran. Dan kalo dipikir-pikir, pacaran itu banyak mudharatnya ya, Iya.
            Ini salah satu takdir Allah swt. Ya. Mungkin sekarang aku diberi waktu untuk memantaskan diri. Memperbaiki diri dan menginstrospeksi diri, agar menjadi Nindy yang lebih baik lagi. Karena aku punya satu keinginan : Siapapun kelak dia yang akan menjadi imam untukku dan keluargaku, aku ingin dia jauh lebih baik daripada aku. Agamanya, yang utama. Kalo dipikir-pikir, aku.. bisa aja sih dari sekarang cari.. dan dapet. Jreng! Tapi ya itu tadi, asal dapet. Sekedar nemenin nonton atau makan saat suntuk. Udah itu aja? Kasian. Dan aku.. ngga setega itu.
            Sekarang, aku diberi waktu untuk –ibaratnya sendiri dulu. Lebih sering menghabiskan waktu hang out sama mama, melakukan hal-hal yang aku senangi sampai menikmati detik demi detik serpihan nafas hidup sebagai seorang yang jomblo. Tidak begitu ngenes, menurutku. Kecuali kita sendiri yang membuat definisi dan kata ‘ngenes’ itu menguasai hati kita. Ambil hikmahnya : mungkin Allah swt ingin aku banyak menghabiskan waktu dengan mama. Sekedar mengantarkannya ke acara pengajian, rumah temannya sampai nonton bioskop atau kulineran. Hal yang tidak semua anak gadis bisa melakukannya, tapi bisa kulakukan meskipun aku tidak punya pacar J












            -----Teman, takdir Allah swt pasti baik, bukan? Dan ingat.. diantara sekotak lumpur pasti terdapat seekor ikan. Kejadian atau peristiwa yang membuat kita berpikir keras mengapa harus kita yang mengalaminya.. selalu ada sebutir permata hikmah yang tersembunyi.

Senin, 14 April 2014

Spasi.

Kira-kira, apa sih, arti sebuah spasi? Hanya sekedar pelengkap dalam sebuah kalimat? Atau sebagai perenggang diantara kata-kata dalam sebuah kalimat? Atau, spasi hanyalah sebuah kata yang seringkali diucapkan oleh iklan berbayar di televisi?Lebih dari itu semua, bagiku.. spasi adalah satu hal yang penting. Tanpa spasi dalam sebuah kalimat, kita hanya akan membaca deretan kata-kata itu seperti kata sandi. Hellooow, kita kan lagi ngga belajar pramuka. Tanpa spasi, tulisan yang kita tulis dan diperuntukkan untuk orang tak lebih dari seperti sms satu rupiahnya salah satu provider kebanggan suaminya Zaenab dalam Si Doel anak sekolaan.            Begitu pentingnya arti spasi dalam sebuah kalimat, tak jarang kita mengaitkannya dengan definisi dalam kehidupan sebenarnya. Klise, memang. Tapi, aku akui.. ini benar adanya. Kita kasih saja perumpamaan spasi sebagai jarak. Ya, jarak. Apa? Jarak? Iya.            Jarak. Sebenernya sedikit meringis sih ya, kalo inget-inget jarak. Ah ya, akhir-akhir ini aku kembali berkomunikasi dengan salah satu kerabat yang udah lamaaaaaaa banget ngga denger kabarnya. Bagiku, bisa kembali berkomunikasi dengannya adalah satu hal yang syukuri. Ngga kurang –dan ngga lebih. Spasi yang diketikkan olehNya selama ini (awalnya) membuat kami berdua agak sedikit kikuk untuk memulai semuanya dari awal. Dari nol, kayak isi bensin ya. Iya.            Dari intensitas komunikasi inilah aku menyadari bahwa spasi yang selama ini dirajut Sang Pencipta membuat aku dan dia sama-sama saling memperkaya diri dengan pemahaman introspeksi. Merendahkan hati pada hal-hal yang bukan hak kita untuk tau, dan berusaha berbuat kebaikan yang kita bisa, dan lain-lain. Spasi yang selama ini membuat kita memiliki satu ruang yang belum terbuka sampai akhirnya bisa ngobrol, bercanda, sampe ngelawak (tapi ngga lucuk) bersama juga membuat aku mengerti bahwa spasi itu penting.            Teman, butuh banyak waktu agar aku dan dia bisa kembali bisa berkomunikasi tanpa harus mengetik ‘saya’ untuk menggantikan kata ganti aku dan tidak melulu mengingatkan sudah makan atau belum. Kadang orang lain yang melihat hanya dapat men-judgenya dari luar saja. Aku ngga peduli. Yang mengalami, aku. Yang ngobrol, aku. Dan aku yang mengenalnya, jauh dari orang lain yang banyak bicara itu mengenalnya.            Aku sadar, takabur adalah suatu tindakan yang dilarang. Ya, aku tak mau berlari terlau jauh atau berjalan ngesot –terlalu lambat. Aku hanya ingin, semua yang aku –kita, mulai dari awal dan dari nol.. berjalan sebagaimana mestinya. Berjalan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditakdirkan Allah swt. Karena aku selalu menganggap yang Allah swt takdirkan selalu baik, bukan hanya untukku, tapi orang-orang di sekelilingku dan masa depanku. Yang membedakannya hanya dua : ada doa yang langsung dikabulkan, dan ada doa yang Allah swt simpan sampai mengabulkannya di waktu yang tepat saat kita memang dirasa sudah pantas untuk menerimanya. Sampai sekarang, aku bingung.. apa yang aku harus keluhkan? Karena, jika ada seseorang yang jauh disana namun tiba-tiba berkomunikasi dengan kita.. aku percaya bahwa itulah salah satu kuasa Allah swt untuk menghibur hati hambaNya. Subhannallah.            Allah swt yang Maha segalanya. Maha membolak-balikkan hati hambaNya, Maha menjauhkan, Maha mendekatkan dan Maha Tahu isi hati hambaNya.





--Ingat ya teman, spasi itu penting. Bayangkan saja jika aku tidak mengalami spasi untuk waktu yang cukup lama. Mungkin aku tidak menjadi lebih baik atau tidak pantas untuk bisa berkomunikasi dengan siapapun yg aku sebut dia J

Jumat, 17 Januari 2014

Bukit dan Sabar.

Teman.

Beberapa hari ini, aku mengalami kebingungan yang amat sangat. Sudah hampir 2 minggu aku selalu memikirkan tentang bukit. YA. Bukit. Impasnya, beberapa temanku menjadi google untukku.
Pertanyaan dari, ”Bukit yang viewnya bagus di Bandung dimana?”, sampe ke pertanyaan, ”Bukit hati kamu udah ada daki belum?”, okesip pertanyaan kedua itu boong. Yakhellleeees nanya gituan ke anak cowok. Bisa disirem pake aer kembang mawar.
Sampe pada akhirnya di sebuah maghrib yang sorenya ditemani hujan turun, selepas sholat.. aku merasa ada sesuatu yang menarik tanganku dan keinginan jiwa serta ragaku untuk mengambil Al-Quran beserta terjemahannya.
Dan ngga tau kenapa, tumben bangetnya.. aku pengen baca daftar isinya dulu. Padahal biasanya kalo baca yaaa, nerusin pembatas yang dibaca sebelumnya aja. Aku merasa ada sesuatu yang beda.
Sampai pada akhirnya aku nemuin satu surat. Namanya Surat At-Thuur. Dan Thuur yang dimaksud disini memang nama sebuah bukit. Yaitu bukit Thuur. Setelah membaca sampai suratnya habis, saya mencoba membaca dan memahami terjemahannya.
Begitu banyak arti yang terkandung dalam suratullah ini. Dari permasalahan yang dihadapi di dalam keluarga, balasan untuk orang-orang yang bertaqwa dan yakin serta bersyukur atas segala nikmatNya, sampai pada akhirnya aku temukan satu kalimat arti dalam ayat ke 48.

”Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu.”

          Deg! Jantungku berdetak hebat. Seketika aku tak menyadari kalimat itu kubaca berkali-kali. Teman, ada banyak cara Dia untuk berkomunikasi dengan hambaNya. Mungkin aku memang sedang merasakan keterburu-buruan (halah). Dan memang kurang sabar. Sabar dalam menunggu ketetapanNya. Nah. Ketetapan disini pasti artinya jamak. Dan aku akan mengambil satu makna dan juga hikmah yang dapat aku petik : ketetapanNya adalah surprise dariNya! :”>
          Ya Rabb, terimakasih Engkau masih mau mengingatkan hamba dengan cara seperti ini. Terimakasih untuk selalu available disaat hamba butuh pinta dan pertolongan. Jaga terus jalan hidup hamba sampai akhirnya hamba kembali ke rengkuhanMu.
          Teman. Banyak cara komunikasi Allah swt yang mungkin selama ini kalian tidak sadari. Tapi, pesanku, teman.. ingatlah.. Sekecil apapun suara hati kalian yang kalian bisa dengar, jika itu mengarah ke kebaikan, ikutilah.


Ini kisahku. Bagaimana denganmu?

Senin, 30 Desember 2013

Intermezzo.

Post kali ini pernah saya publikasikan kepada salah seorang senior, teman baik, teman curhat (terkadang, berhubung sekarang dia udah punya pegangan.. udah jarang banget cerita), terkadang dia mengerti apa yang saya maksud (padahal orang lain ngga nalar), sama-sama suka bikin ketawa orang di sekeliling, dan yang pasti, kita sama-sama aspek bangsa yang berbudi luhur dan rajin menabung (di kamar mandi, red). 
Jangan pernah masukin hati tentang apa yang udah saya tulis. Karena sewaktu menulis ini pun saya mikirnya pakai otak, bukan pakai hati. Buat hatinya, simpan saja untuk orang yang disayang.


Kecup Basah, Emwah. 

Nindy Middleton.



Tanah tersiram Hujan.
Bau tanah tersiram hujan memang sulit untuk dilukiskan dengan deretan bait puisi. Apa ya… lebih tepatnya bingung harus mengatakan bau atau harum. Bau, ya karena memang bukan berasal dari parfume yang notabene wanginya sudah disensor oleh lisensi badan-keparfume-an seluruh dunia, namun wangi karena memang menurut saya wangi. Well, menurut saya pribadi tidak banyak orang yang menyukai aroma tanah tersiram hujan. Karena, tidak bisa dipungkiri bagi sebagian orang, wangi tanah tersiram hujan adalah wangi debu. Wangi polusi atau wangi udara yang kotor. Namun, saya bukanlah satu dari kumpulan tersebut. Karena saya berpikiran tanah tersiram hujan itu ibarat sebuah anak manusia yang mendapatkan pencerahan. Terlebih lagi, jika tanahnya kering. Kering sekali. Ibaratnya akan lebih dari anak manusia yang mendapatkan pencerahan, tetapi seperti seseorang yang menemukan jalan buntu lalu mendapatkan hidayah. Oke, ilustrasi terakhir yang saya berikan nampaknya lebih dari ketawanya Soimah. Lebay. Tapi, jika anda masih penasaran dengan waangi tanah tersiram hujan bisa langsung mengalaminya sendiri. Namun, tidak semua tanah dan air hujan bisa menghasilkan wangi yang saya maksud. Hujannya harus intensitas rendah namun terlihat seperti hujan eropa. Tanahnya juga harus tanah kering. Pergilah ke atas bukit yang gersang, dan nantikan hujan yang turun seperti di benua eropa. Jangan lupa bawa tikar. Nikmati sensasinya..

Ketawa Soimah.
Nah, berbicara tentang ketawa Soimah kali ini saya akan sedikit mendeskripsikan beberapa pendangan saya tentang ketawa artis-papan-atas tersebut. Naaah, mulai dari sini. Mulai dari waktu dimana saya pertama kali mengenal Soimah karena menonton televisi (jadi sebenarnya saya hanya kebetulan aja, kalo waktu itu dengernya radio mungkin aja sampe sekarang ngga tau Soimah yang mana). Well, menyoal tentang ketawa beliau yang begitu artistic, menurut saya sih kurang lebih seperti itu. Ada sebagian orang yang tentunya tidak setuju dengan pendapat saya, tentu. Karena bagi sebagian orang, ketawa beliau sangat bertentangan dengan ketawa perempuan dalam ketentuan agama. Namun, menurut saya..setiap orang yang ingin mencipatakan hiburan pastilah akan menjadi sebuah statement yang serius di lingkungan populasi yang lain. Mengutip peryataan yang menurut saya penting, dari seorang Stephenie Meyer : “setiap yang seseorang lakukan pastilah saja bertentangan dengan kepentingan orang lain disekitarnya. Lakukan apa yang menurutmu benar dan jangan terlalu pedulikan orang lain.”. menurut saya, Soimah selayaknya memiliki porsi yang sama dengan artis-artis lainnya. Dia wajar melakukan inovasi-inovasi baru demi kelangsungan kariernya. Dan setiap artis wajar melakukan sesuatu yang baru yang tentunya menarik perhatian masyarakat. Lagi-lagi itu semua demi kelangsungan karier sang artis tersebut di panggung entertainment. Back to the topic, so far saya menganggap ketawa Soimah masih wajar karena dia pernah berkata dalam satu situasi talk show malam, bahwa dia (Soimah) memang membangun karakter dalam kamera dengan riwayat orang kampungan, karena dikisahkan Soimah memang dari kampung. Semua cerita itu benar, Soimah memang dari kampung dan ia merintis kehidupannya sampai memiliki suami yang setia mendampingi kemanapun ia pergi sampai dua orang jagoan yang sangat ia cintai. Saya salut dengan transparansi jiwa Soimah yang berkata jujur kepada pemirsa bahwa memang karakternya tidak seperti itu ketika berada di rumah. Jujur, belakangan saya baru ketahui bahwa Soimah dulunya adalah rekan om saya dia adalah  salah satu sinden di perkumpulan music campur sari yang seringkali manggung di acara hajatan di daerah jawa. Back to the topic (again), paati anda bertanya-tanya mengapa saya begitu terkesan membela Soimah. Well, saya ngga dibayar untuk membela beliau yaaa.. karena saya bukan nindy paris hutapea, jadi saya hanya ingin membuat penikmat acara televisi agar tidak terlalu mendramatisir apa yang dilakukan artis-artis. Anggap saja mereka sedang bermain drama musical, yang kita nikmati dari bangku penonton tanpa harus mengacungkan tangan untuk melayangkan pertanyaan seperti yang dilakukan di kelas matematika. Ketawa Soimah dimata saya adalah bentuk ide kreatif yang bersifat artistic. Dengan ketawanya, ia mampu menarik rating dari acar televisi yang ia hadiri. Tentu, karena ketawanya ini pulalah yang membuat Soimah bisa survive sampai hari ini di dunia entertainment. Saya tidak perlu mengatakan lebay karena memang lebay, yaaa. But overall, saya tidak terlalu memikirkan ke-lebay-an itu karena menurut saya, lebay yang diungkapkan oleh orang-orang tidak sebanding dengan realita nyata seorang Soimah dalam menjalani hidupnya. Yaaa, bahasa kasarnya sih gini.. “sesama pencari uang, dilarang saling silang.” Kalimat terakhir saya rasa-rasanya seperti sepenggal moment di dunia perpolitikan Indonesia saat ini yaaaa, pencalonan presiden dan saling silang. Hihihi :*

Politik Saling-Silang.
Saya akan mengulas secara pendek tentang politik saling-silang yang saya maksudkan disini. Pendek loh yaaaa, pendek. Iya, jadi…menurut saya, politik saling-silang adalah keadaan politik dimana orang-orang yang duduk di politiknya itu saling-silang. Kita sebagai “yang-nonton” udah ngga tau mana yang salah mana yang bener. Karena apa yang kadang menurut kita salah ternyata benar. Sementara yang menurut kita benar selama ini ternyata melakukan kesalahan yang cukup besar. Kit udah ngga tau yang mana yang ada di garis hitam dan putih, karena semuanya abu-abu. Dan semuanya ada di pihak yang tidak tranparan, seperti diselimuti selimut wol dari kulit domba new Zealand. Kadang, karena sudah serngkali seperti ini, masyarakat sebagai yang-menonton sudah tidak tahu harus berpihak kepada siapa, seperti menonton pertandingan sepak bola yang kedua timnya adalah tim yang dibenci oleh semua masyarakat dunia. Kejam sekali ya penggambaran seperti itu, namun menurut saya yaaaa, memang seperti itu keadaannya. Terkadang saya bingung, apasih yang menjadi tujuan mereka ketika mereka duduk dibangku politik. Toh menurut saya, bangkunya panas. Panas dalam artian, tidak nyaman ketika menutup mata dengan realitas yang ada. Realitas bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya merasakan dampak dari sistem pemerintahan Indonesia itu sendiri. Kadang saya tidak berhenti bepikir, bagaimana bisa seorang pejabat minum air putih dengan gelas berkaki, padahal beberapa bagian lain dari masyarakatnya sendiri jarang-jarang meminum air putih yang benar-benar sehat. Tapi, jika kita berbicara tentang hal ini tidak akan pernah ada ujungnya. Satu hal yang masih membuat kita berbangga hati adalah keadaan alam Indonesia. Obat dari segala penyakit pikiran ya, sepertinya.. :*

Alam (Indonesia) = Obat?

Kata-kata yang menyeruak dalam pikiran saya ketika menyebut alam (Indonesia) adalah obat, merupakan suatu pandangan yang pastinya disetujui setiap orang. Bukan saja mereka yang menjadi penduduk Indonesia. Saya yakin, justru sebagian besar penduduk Indonesia belum pernah menjamah kekayaan alam Indonesia yang pastinya telah didatangi orag-orang asing yang kemudian mengabarkannya sehingga penduduk Indonesia menjadi tau. Tidak bisa kita pungkiri bahwa alam Indonesia adalah satu plasma nutfah warisan dan tentunya adalah goresan kebesaranNya. Cukup nyinyir jika selalu membicarakan tentang alam Indonesia yang menurut saya layaknya menonton film box office. Ditonton karena kualitasnya. Sedang yang tidak berkualitas? Ya, tinggalkan saja. Kasian. Jelas. Miris jika mengingat lagi dan lagi tentang kekayaan alam Indonesia yang selalu menjadi keindahan tak berdosa dan kadang menjadi limpahan dosa yang duduk-duduk.

Sutradara.

Selalu. Dan selalu. Saat kami pergi bertiga. Mama, Papa dan Aku, tentu saja (karena Riki selalu dan lagi-lagi selalu sibuk bersama teman-temannya). Topic yang dibicarakan lagi-lagi tak pernah jauh dari yang namanya pendamping hidupku, kelak. Boleh dikatakan, setahun terakhir. Jika kami bertiga dalam satu kesempatan yang sama, pasti topiknya selalu itu dan itu lagi.
            Begitu banyak nasihat dan petuah laksana tweet @pepatah dalam lingkar sebuah media sosial. Sebenarnya, Mama dan Papa tak pernah memberikan nasihat atau sekedar berbicara menyinggung tentang itu. Mungkin setahun terakhir, usiaku menginjak tahun ke 21. Tahun dimana anak gadis memang rawan-rawannya dan butuh banyak penerangan menuju jalan keluarga yang lebih baik dan tentunya sakinah mawaddah warahmah.
            Setahun ke belakang juga Aku, seringkli diajak ke undangan. Aku tak pernah peduli jika hendak dikenalkan dengan –siapapun. Karena bagiku, jika memang sudah jalannya, pun akan didekatkan olehNya. Atau jika memang sudah bukan jalannya, pun akan dijauhkan pula olehNya. Prinsip itu, aku pegang erat-erat setahun terakhir. Mungkin inilah yang membuat aku lebih bisa menikmati hidup dan menikmati setiap detiknya………………dengan tidur.
            Aku bebas berteriak, aku bebas untuk melakukan hal-hal yang aku senangi dan aku bebas ngapain aja (pokoknya aku bebas. Itu aja.) tanpa ada sms atau sekedar kontak diujung hari yang bertanya, “lagi ngapain?”.
            Sampai pada suatu ketika saat Mama dan Papa secara gambling selalu berbincang tentang “itu” lagi. Februari 2014, itu artinya sudah lebih dari setahun aku telah move on. Dan jikapun ditelisik lebih lanjut ke belakang, aku jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh telah move dari siapapun sejak tahun 2011. Cuman bedanya, akhir trimester 2013.. aku jauh lebih bisa merengkuh kebebasan itu.
            Ah, sudahlah. Tak penting berbicara tentang apa yang sudah terjadi. Pun sekarang, sebagai mahasiswa tingkat akhir yang memiliki target lulus 2014, fokus dalam diriku lebih terarah. Galau hanya sesekali saja. Sisanya tetap….. tidur. Alhasil, nasihat Mama semakin menjadi. Mama dan Papa setuju saja jika aku kelak menjalin hubungan serius dengan seorang pegawai dari perusahaan tempat Papaku bekerja. Oh. My. Goat.
            Rasanya, itu terlalu spesifik. Terlebih ketika Mama dan Papa ternyata berbincang banyak tentangku pada calon om yang akan resmi menjadi om di 11 Januari 2014. Goat. Apalagi inisih. Dari tarikan oktaf suaranya dan sorot matanya, Mama sih emang ngga pengen aku nikah buru-buru (plis deh, kalopun buru-buru.. nikahnya mau sama siapa?) tapi kalo diliat dari gencarnya Mama cariin pacar buat Aku… duh, kadang akupun ngga paham lagi.
            Saat ditanya orang, aku lebih suka menjawab dengan, “Iya… doain ajaya. Yang jelas sih lulus dulu. Abis itu mau jungkir balik, sikap lilin, tigersprong sampe backroll di kasur matras pun terserah.” Kadang skripsi menyelematkan hidupku dari pertanyaan-pertanyaan antagonis yang diluncurkan orang. Tengs ya, sk. (panggilan akrab sk—ripsi).

            Suatu kali lain, Mama dan Papa pun menerjangku dengan nasihat menyoal itu lagi. Ntah kenapa, ada terbersit dorongan jawaban yang aku ucapkan pada mereka, “Ma, Pa… nindy pengennya justru sama yang kayak profesinya tuh keren. Ma. Ya sutradara kek, hmmm… yaaa sekitar gitudeh, Ma..Pa. jadi di KTPnya tuh keren. Pekerjaan : Sutradara atau ngga….. pekerja seni. Bagus kan, Ma?”. Air muka Mama datar. Begitupun Papa. Kalo udah ginisih, intinya.. “semoga-nindy-cepat-bangun-dari-tidurnya.”