Senin, 30 Desember 2013

Intermezzo.

Post kali ini pernah saya publikasikan kepada salah seorang senior, teman baik, teman curhat (terkadang, berhubung sekarang dia udah punya pegangan.. udah jarang banget cerita), terkadang dia mengerti apa yang saya maksud (padahal orang lain ngga nalar), sama-sama suka bikin ketawa orang di sekeliling, dan yang pasti, kita sama-sama aspek bangsa yang berbudi luhur dan rajin menabung (di kamar mandi, red). 
Jangan pernah masukin hati tentang apa yang udah saya tulis. Karena sewaktu menulis ini pun saya mikirnya pakai otak, bukan pakai hati. Buat hatinya, simpan saja untuk orang yang disayang.


Kecup Basah, Emwah. 

Nindy Middleton.



Tanah tersiram Hujan.
Bau tanah tersiram hujan memang sulit untuk dilukiskan dengan deretan bait puisi. Apa ya… lebih tepatnya bingung harus mengatakan bau atau harum. Bau, ya karena memang bukan berasal dari parfume yang notabene wanginya sudah disensor oleh lisensi badan-keparfume-an seluruh dunia, namun wangi karena memang menurut saya wangi. Well, menurut saya pribadi tidak banyak orang yang menyukai aroma tanah tersiram hujan. Karena, tidak bisa dipungkiri bagi sebagian orang, wangi tanah tersiram hujan adalah wangi debu. Wangi polusi atau wangi udara yang kotor. Namun, saya bukanlah satu dari kumpulan tersebut. Karena saya berpikiran tanah tersiram hujan itu ibarat sebuah anak manusia yang mendapatkan pencerahan. Terlebih lagi, jika tanahnya kering. Kering sekali. Ibaratnya akan lebih dari anak manusia yang mendapatkan pencerahan, tetapi seperti seseorang yang menemukan jalan buntu lalu mendapatkan hidayah. Oke, ilustrasi terakhir yang saya berikan nampaknya lebih dari ketawanya Soimah. Lebay. Tapi, jika anda masih penasaran dengan waangi tanah tersiram hujan bisa langsung mengalaminya sendiri. Namun, tidak semua tanah dan air hujan bisa menghasilkan wangi yang saya maksud. Hujannya harus intensitas rendah namun terlihat seperti hujan eropa. Tanahnya juga harus tanah kering. Pergilah ke atas bukit yang gersang, dan nantikan hujan yang turun seperti di benua eropa. Jangan lupa bawa tikar. Nikmati sensasinya..

Ketawa Soimah.
Nah, berbicara tentang ketawa Soimah kali ini saya akan sedikit mendeskripsikan beberapa pendangan saya tentang ketawa artis-papan-atas tersebut. Naaah, mulai dari sini. Mulai dari waktu dimana saya pertama kali mengenal Soimah karena menonton televisi (jadi sebenarnya saya hanya kebetulan aja, kalo waktu itu dengernya radio mungkin aja sampe sekarang ngga tau Soimah yang mana). Well, menyoal tentang ketawa beliau yang begitu artistic, menurut saya sih kurang lebih seperti itu. Ada sebagian orang yang tentunya tidak setuju dengan pendapat saya, tentu. Karena bagi sebagian orang, ketawa beliau sangat bertentangan dengan ketawa perempuan dalam ketentuan agama. Namun, menurut saya..setiap orang yang ingin mencipatakan hiburan pastilah akan menjadi sebuah statement yang serius di lingkungan populasi yang lain. Mengutip peryataan yang menurut saya penting, dari seorang Stephenie Meyer : “setiap yang seseorang lakukan pastilah saja bertentangan dengan kepentingan orang lain disekitarnya. Lakukan apa yang menurutmu benar dan jangan terlalu pedulikan orang lain.”. menurut saya, Soimah selayaknya memiliki porsi yang sama dengan artis-artis lainnya. Dia wajar melakukan inovasi-inovasi baru demi kelangsungan kariernya. Dan setiap artis wajar melakukan sesuatu yang baru yang tentunya menarik perhatian masyarakat. Lagi-lagi itu semua demi kelangsungan karier sang artis tersebut di panggung entertainment. Back to the topic, so far saya menganggap ketawa Soimah masih wajar karena dia pernah berkata dalam satu situasi talk show malam, bahwa dia (Soimah) memang membangun karakter dalam kamera dengan riwayat orang kampungan, karena dikisahkan Soimah memang dari kampung. Semua cerita itu benar, Soimah memang dari kampung dan ia merintis kehidupannya sampai memiliki suami yang setia mendampingi kemanapun ia pergi sampai dua orang jagoan yang sangat ia cintai. Saya salut dengan transparansi jiwa Soimah yang berkata jujur kepada pemirsa bahwa memang karakternya tidak seperti itu ketika berada di rumah. Jujur, belakangan saya baru ketahui bahwa Soimah dulunya adalah rekan om saya dia adalah  salah satu sinden di perkumpulan music campur sari yang seringkali manggung di acara hajatan di daerah jawa. Back to the topic (again), paati anda bertanya-tanya mengapa saya begitu terkesan membela Soimah. Well, saya ngga dibayar untuk membela beliau yaaa.. karena saya bukan nindy paris hutapea, jadi saya hanya ingin membuat penikmat acara televisi agar tidak terlalu mendramatisir apa yang dilakukan artis-artis. Anggap saja mereka sedang bermain drama musical, yang kita nikmati dari bangku penonton tanpa harus mengacungkan tangan untuk melayangkan pertanyaan seperti yang dilakukan di kelas matematika. Ketawa Soimah dimata saya adalah bentuk ide kreatif yang bersifat artistic. Dengan ketawanya, ia mampu menarik rating dari acar televisi yang ia hadiri. Tentu, karena ketawanya ini pulalah yang membuat Soimah bisa survive sampai hari ini di dunia entertainment. Saya tidak perlu mengatakan lebay karena memang lebay, yaaa. But overall, saya tidak terlalu memikirkan ke-lebay-an itu karena menurut saya, lebay yang diungkapkan oleh orang-orang tidak sebanding dengan realita nyata seorang Soimah dalam menjalani hidupnya. Yaaa, bahasa kasarnya sih gini.. “sesama pencari uang, dilarang saling silang.” Kalimat terakhir saya rasa-rasanya seperti sepenggal moment di dunia perpolitikan Indonesia saat ini yaaaa, pencalonan presiden dan saling silang. Hihihi :*

Politik Saling-Silang.
Saya akan mengulas secara pendek tentang politik saling-silang yang saya maksudkan disini. Pendek loh yaaaa, pendek. Iya, jadi…menurut saya, politik saling-silang adalah keadaan politik dimana orang-orang yang duduk di politiknya itu saling-silang. Kita sebagai “yang-nonton” udah ngga tau mana yang salah mana yang bener. Karena apa yang kadang menurut kita salah ternyata benar. Sementara yang menurut kita benar selama ini ternyata melakukan kesalahan yang cukup besar. Kit udah ngga tau yang mana yang ada di garis hitam dan putih, karena semuanya abu-abu. Dan semuanya ada di pihak yang tidak tranparan, seperti diselimuti selimut wol dari kulit domba new Zealand. Kadang, karena sudah serngkali seperti ini, masyarakat sebagai yang-menonton sudah tidak tahu harus berpihak kepada siapa, seperti menonton pertandingan sepak bola yang kedua timnya adalah tim yang dibenci oleh semua masyarakat dunia. Kejam sekali ya penggambaran seperti itu, namun menurut saya yaaaa, memang seperti itu keadaannya. Terkadang saya bingung, apasih yang menjadi tujuan mereka ketika mereka duduk dibangku politik. Toh menurut saya, bangkunya panas. Panas dalam artian, tidak nyaman ketika menutup mata dengan realitas yang ada. Realitas bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya merasakan dampak dari sistem pemerintahan Indonesia itu sendiri. Kadang saya tidak berhenti bepikir, bagaimana bisa seorang pejabat minum air putih dengan gelas berkaki, padahal beberapa bagian lain dari masyarakatnya sendiri jarang-jarang meminum air putih yang benar-benar sehat. Tapi, jika kita berbicara tentang hal ini tidak akan pernah ada ujungnya. Satu hal yang masih membuat kita berbangga hati adalah keadaan alam Indonesia. Obat dari segala penyakit pikiran ya, sepertinya.. :*

Alam (Indonesia) = Obat?

Kata-kata yang menyeruak dalam pikiran saya ketika menyebut alam (Indonesia) adalah obat, merupakan suatu pandangan yang pastinya disetujui setiap orang. Bukan saja mereka yang menjadi penduduk Indonesia. Saya yakin, justru sebagian besar penduduk Indonesia belum pernah menjamah kekayaan alam Indonesia yang pastinya telah didatangi orag-orang asing yang kemudian mengabarkannya sehingga penduduk Indonesia menjadi tau. Tidak bisa kita pungkiri bahwa alam Indonesia adalah satu plasma nutfah warisan dan tentunya adalah goresan kebesaranNya. Cukup nyinyir jika selalu membicarakan tentang alam Indonesia yang menurut saya layaknya menonton film box office. Ditonton karena kualitasnya. Sedang yang tidak berkualitas? Ya, tinggalkan saja. Kasian. Jelas. Miris jika mengingat lagi dan lagi tentang kekayaan alam Indonesia yang selalu menjadi keindahan tak berdosa dan kadang menjadi limpahan dosa yang duduk-duduk.

Sutradara.

Selalu. Dan selalu. Saat kami pergi bertiga. Mama, Papa dan Aku, tentu saja (karena Riki selalu dan lagi-lagi selalu sibuk bersama teman-temannya). Topic yang dibicarakan lagi-lagi tak pernah jauh dari yang namanya pendamping hidupku, kelak. Boleh dikatakan, setahun terakhir. Jika kami bertiga dalam satu kesempatan yang sama, pasti topiknya selalu itu dan itu lagi.
            Begitu banyak nasihat dan petuah laksana tweet @pepatah dalam lingkar sebuah media sosial. Sebenarnya, Mama dan Papa tak pernah memberikan nasihat atau sekedar berbicara menyinggung tentang itu. Mungkin setahun terakhir, usiaku menginjak tahun ke 21. Tahun dimana anak gadis memang rawan-rawannya dan butuh banyak penerangan menuju jalan keluarga yang lebih baik dan tentunya sakinah mawaddah warahmah.
            Setahun ke belakang juga Aku, seringkli diajak ke undangan. Aku tak pernah peduli jika hendak dikenalkan dengan –siapapun. Karena bagiku, jika memang sudah jalannya, pun akan didekatkan olehNya. Atau jika memang sudah bukan jalannya, pun akan dijauhkan pula olehNya. Prinsip itu, aku pegang erat-erat setahun terakhir. Mungkin inilah yang membuat aku lebih bisa menikmati hidup dan menikmati setiap detiknya………………dengan tidur.
            Aku bebas berteriak, aku bebas untuk melakukan hal-hal yang aku senangi dan aku bebas ngapain aja (pokoknya aku bebas. Itu aja.) tanpa ada sms atau sekedar kontak diujung hari yang bertanya, “lagi ngapain?”.
            Sampai pada suatu ketika saat Mama dan Papa secara gambling selalu berbincang tentang “itu” lagi. Februari 2014, itu artinya sudah lebih dari setahun aku telah move on. Dan jikapun ditelisik lebih lanjut ke belakang, aku jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh telah move dari siapapun sejak tahun 2011. Cuman bedanya, akhir trimester 2013.. aku jauh lebih bisa merengkuh kebebasan itu.
            Ah, sudahlah. Tak penting berbicara tentang apa yang sudah terjadi. Pun sekarang, sebagai mahasiswa tingkat akhir yang memiliki target lulus 2014, fokus dalam diriku lebih terarah. Galau hanya sesekali saja. Sisanya tetap….. tidur. Alhasil, nasihat Mama semakin menjadi. Mama dan Papa setuju saja jika aku kelak menjalin hubungan serius dengan seorang pegawai dari perusahaan tempat Papaku bekerja. Oh. My. Goat.
            Rasanya, itu terlalu spesifik. Terlebih ketika Mama dan Papa ternyata berbincang banyak tentangku pada calon om yang akan resmi menjadi om di 11 Januari 2014. Goat. Apalagi inisih. Dari tarikan oktaf suaranya dan sorot matanya, Mama sih emang ngga pengen aku nikah buru-buru (plis deh, kalopun buru-buru.. nikahnya mau sama siapa?) tapi kalo diliat dari gencarnya Mama cariin pacar buat Aku… duh, kadang akupun ngga paham lagi.
            Saat ditanya orang, aku lebih suka menjawab dengan, “Iya… doain ajaya. Yang jelas sih lulus dulu. Abis itu mau jungkir balik, sikap lilin, tigersprong sampe backroll di kasur matras pun terserah.” Kadang skripsi menyelematkan hidupku dari pertanyaan-pertanyaan antagonis yang diluncurkan orang. Tengs ya, sk. (panggilan akrab sk—ripsi).

            Suatu kali lain, Mama dan Papa pun menerjangku dengan nasihat menyoal itu lagi. Ntah kenapa, ada terbersit dorongan jawaban yang aku ucapkan pada mereka, “Ma, Pa… nindy pengennya justru sama yang kayak profesinya tuh keren. Ma. Ya sutradara kek, hmmm… yaaa sekitar gitudeh, Ma..Pa. jadi di KTPnya tuh keren. Pekerjaan : Sutradara atau ngga….. pekerja seni. Bagus kan, Ma?”. Air muka Mama datar. Begitupun Papa. Kalo udah ginisih, intinya.. “semoga-nindy-cepat-bangun-dari-tidurnya.”

Selasa, 17 Desember 2013

untitle.

Seorang teman pernah bertanya tentang riwayat pergaulanku. Riwayat pertemananku. Kadang malas untuk menjawab karena teman ini memang memiliki nilai kuriositi yang sangat tinggi. Baru sampai rumah aku terpikir untuk menjawab secara intelek. Hahahaha. Semoga dia baca.
Dulu, saat masih esde atau masih kecil.. kita selalu haal dengan kalimat, “nanti kalo berteman, jangan suka pilih-pilih.” Dan biasanya kalimat tersebut dilontarkan oleh guru atau orang tua kita. Tapi, setelah aku menelan asam garam pendidikan selama hampir 15tahun lamanya ini, aku baru sangat menyadari bahwa kalimat seperti itu memang benar. Sangat benar. Tetapi hanya berlaku sampai 12tahun usia pendidikan. Itu artinya?... Ya.
Teman, kita jangan pernah menutup mata. Dunia perkuliahan itu kejam. Ya, sambil-sambil belajar buat menghadapi dunia yang sebenernya, sih. Mungkin, peribahasa yang tepat untuk pertemanan di dunia perkuliahan adalah : bertemanlah dengan pedagang minyak wangi, agar kalian tertular wanginya. Bukan, bukan berarti aku mau dan sangat ahli memilih-milih teman.
Aku diciptakan sebagai seorang wanita. Banyak sekali pikiran yang berkecamuk di pikiranku di malam hari menjelang saat-saat tidur. Terkadang hal seperti ini pun, aku tidak menyangka.. bakal  menjadi bahan pertanyaan yang dilontarkan kepadaku. Tetapi, ingat ya teman. Aku selalu berusaha untuk tidak menyesal telah melalui semua ini. Aku anggap saja ujian. Ujian bahwa tidak semua orang di atas panggung berlaku sebagai protagonist. Bukankah pada setiap film atau sinetron selalu ada peran antagonisnya?
Aku selalu berpikir, mungkin jika aku seorang penonton dan aku menonton sebah film. Saat pemeran utamanya keluar, aku akan berpikir dia seorang yang baik. Aku akan menjadi penggemarnya sepanjag film berlangsung. Sampai ternyata ada suatu peristiwa dan muncullah hero yang asli. Yang sebenernya tak ingin kulihat dia sebagai hero. Tapi apa? Aku harus menerima kan? Bukannya Sutradara telah mengatur semuanya? Dan aku sebagai penonton harus menerima dan mengambil sesuatu yang positifnya saja?

Teman, usiaku sekarang menginjak 21. Dan insyaAllah aku sudah diberi kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang benar. Beda, lho. Ah, teman. Semoga saja kau tak akan pernah mempermasalahkan masalahku. Semoga cukup. Hanya aku dan Dia yang tau.