Pagi
itu Adit terburu-buru. Tidak seperti biasanya. Hari ini ia pun lupa mencium
kening istrinya, Hana. Meski begitu, Hana tak pernah sedikit pun kesal dengan
tingkah suaminya hari itu. Dia menyibukkan diri dengan perlengkapan sekolah
Rizky, anak mereka satu-satunya yang kini duduk di kelas 5 SD. Selain itu masih
banyak kotak-kotak barang yang belum dibereskan. Maklum, keluarga ini baru saja
pindah ke Jakarta.
Hana paham benar dengan sikap Adit
hari itu. Ia tak pernah sedikit pun marah atau kesal. Karena ia tau pasti
alasan Adit bersikap demikian. Adit hanya butuh waktu untuk sendiri. Untuk lebih
mengerti, terkadang hidup tak sesuai dengan rencana. Hana tak pernah menyesal
menikah dengan Adit, karena sejauh iini yang Hana tau adalah bahwa Adit selalu
berusaha menyenangkan dirinya sebagai istri dan anak mereka Rizky. Adit tak
pernah sedikitpun melakukan tindakan-tindakan aneh diluar nalarnya sebagai
orang yang terdekat dengan Adit.
Adit
juga adalah imam yang baik. Bagi Hana, Adit adalah seorang pemimpin keluarga
yang bertanggung jawab atas dia dan anaknya. Adit cukup respect dengan
menyekolahkan Rizky di sekolah full day dengan kelas agama yang lebih dari
sekolah biasanya. Pun, ketika mereka pindah ke Jakarta.. Adit turut selektif
memasukkan Rizky di sekolah yang menjadi pilihannya.
Di kantor pun Adit adalah seorang
manajer keuangan yang menggenggam kepercayaan dari banyak pihak. Ia tak pernah
ingkar. Dan selalu berperilaku sopan, untuk itulah Hana mencintai Adit sepenuh
hati. sekali lagi, Hana tak pernah sedikitpun meminta Adit bercerita banyak
tentang masalah yang dihadapinya di kantor maupun di lingkungan polo, olahraga yang
digemari Adit baru-baru ini –jika Adit yang tidak bercerita sendiri.
Hana mengantar Adit sampai didepan
pintu mobilnya. Lambaian tangan Hana mengantar Adit yang hanya membalasnya
dengan senyuman. Adit yang terlihat kalut akhirnya keluar lagi dari mobilnya. Menghampiri
Hana dan mengecup kening istrinya itu.
“I love you, Bun.”, ucapnya.
Hana menjawab pelan, dan mungkin tidak terdengar oleh Adit : “Love you too, Ayah.”
Sepanjang perjalanan ke kantornya,
Adit tak sedikitpun melirik jam tangannya. Sudah tak ada waktu lagi, pikirnya. Akhirnya
ia pun membelokkan arah setir mobilnya. Ia kini bukan menuju ke arah kantornya.
Jalan yang diambilnya menuju Bandung. Ya, Bandung. Tanpa persiapan, dan tanpa
pikir panjang.
Perjalanan selama menuju Bandung
hanya ditempuh Adit kurang lebih 2 jam saja. Gerbang Tol Pasteur dan ucapan
selamat datang di Bandung menyambut Adit tepat jam setengah sepuluh. Adit tak
kuasa menahan rasa yang perlahan membuncah seiring dengan semakin dekat dengan tempat
yang ia tuju.
Adit memasuki pekarangan rumah yang
tidak berpagar namun asri itu. Adit keluar dari mobilnya dan berdiri di dekat
teras rumah itu. Pintunya terbuka, karpet pun digelar di ruang keluarga sampai
ke belakang. Pasti ada orang pikirnya.
“Assalamualaikum..”
Belum
ada jawaban.
“Assalamualaikum...”
Tak berapa lama, seorang ibu paruh
baya keluar. Nampaknya ia hendak pergi. Dandanannya necis dan rapi. Ia tersenyum
lebar begitu mengetahui Adit yang datang. Namun ia juga sedikit menyembunyikan
rasanya. Rasa hambar saat tahu pasti siapa yang hendak Adit temui.
“Ibu..”, pekik Adit
“Nak Adit.. Kinara sudah pergi.”
Adit terhentak. Badannya lemas. Ia kini
sadar sepenuhnya, Kinara adalah sesuatu yang sangat berharga. Bukan hanya bagi
dirinya. Tetapi juga bagi anaknya, Rizky. Dan separuh hidupnya. Perasaan Adit
kini berkecamuk. Tak mungkin pergi begitu saja. Ia harus kuat. Sampai nanti,
saat Rizky mengerti bahwa Kinara adalah bentuk sebuah cinta yang tak akan
pernah sirna begitu saja...