Selalu.
Dan selalu. Saat kami pergi bertiga. Mama, Papa dan Aku, tentu saja (karena
Riki selalu dan lagi-lagi selalu sibuk bersama teman-temannya). Topic yang
dibicarakan lagi-lagi tak pernah jauh dari yang namanya pendamping hidupku,
kelak. Boleh dikatakan, setahun terakhir. Jika kami bertiga dalam satu
kesempatan yang sama, pasti topiknya selalu itu dan itu lagi.
Begitu banyak nasihat dan petuah
laksana tweet @pepatah dalam lingkar sebuah media sosial. Sebenarnya, Mama dan
Papa tak pernah memberikan nasihat atau sekedar berbicara menyinggung tentang
itu. Mungkin setahun terakhir, usiaku menginjak tahun ke 21. Tahun dimana anak
gadis memang rawan-rawannya dan butuh banyak penerangan menuju jalan keluarga
yang lebih baik dan tentunya sakinah mawaddah warahmah.
Setahun ke belakang juga Aku,
seringkli diajak ke undangan. Aku tak pernah peduli jika hendak dikenalkan
dengan –siapapun. Karena bagiku, jika memang sudah jalannya, pun akan
didekatkan olehNya. Atau jika memang sudah bukan jalannya, pun akan dijauhkan
pula olehNya. Prinsip itu, aku pegang erat-erat setahun terakhir. Mungkin
inilah yang membuat aku lebih bisa menikmati hidup dan menikmati setiap
detiknya………………dengan tidur.
Aku bebas berteriak, aku bebas untuk
melakukan hal-hal yang aku senangi dan aku bebas ngapain aja (pokoknya aku
bebas. Itu aja.) tanpa ada sms atau sekedar kontak diujung hari yang bertanya,
“lagi ngapain?”.
Sampai pada suatu ketika saat Mama
dan Papa secara gambling selalu berbincang tentang “itu” lagi. Februari 2014,
itu artinya sudah lebih dari setahun aku telah move on. Dan jikapun ditelisik
lebih lanjut ke belakang, aku jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh telah move dari
siapapun sejak tahun 2011. Cuman bedanya, akhir trimester 2013.. aku jauh lebih
bisa merengkuh kebebasan itu.
Ah, sudahlah. Tak penting berbicara
tentang apa yang sudah terjadi. Pun sekarang, sebagai mahasiswa tingkat akhir
yang memiliki target lulus 2014, fokus dalam diriku lebih terarah. Galau hanya
sesekali saja. Sisanya tetap….. tidur. Alhasil, nasihat Mama semakin menjadi.
Mama dan Papa setuju saja jika aku kelak menjalin hubungan serius dengan
seorang pegawai dari perusahaan tempat Papaku bekerja. Oh. My. Goat.
Rasanya, itu terlalu spesifik.
Terlebih ketika Mama dan Papa ternyata berbincang banyak tentangku pada calon
om yang akan resmi menjadi om di 11 Januari 2014. Goat. Apalagi inisih. Dari
tarikan oktaf suaranya dan sorot matanya, Mama sih emang ngga pengen aku nikah
buru-buru (plis deh, kalopun buru-buru.. nikahnya mau sama siapa?) tapi kalo
diliat dari gencarnya Mama cariin pacar buat Aku… duh, kadang akupun ngga paham
lagi.
Saat ditanya orang, aku lebih suka
menjawab dengan, “Iya… doain ajaya. Yang jelas sih lulus dulu. Abis itu mau
jungkir balik, sikap lilin, tigersprong sampe backroll di kasur matras pun
terserah.” Kadang skripsi menyelematkan hidupku dari pertanyaan-pertanyaan
antagonis yang diluncurkan orang. Tengs ya, sk. (panggilan akrab sk—ripsi).
Suatu kali lain, Mama dan Papa pun
menerjangku dengan nasihat menyoal itu lagi. Ntah kenapa, ada terbersit
dorongan jawaban yang aku ucapkan pada mereka, “Ma, Pa… nindy pengennya justru
sama yang kayak profesinya tuh keren. Ma. Ya sutradara kek, hmmm… yaaa sekitar
gitudeh, Ma..Pa. jadi di KTPnya tuh keren. Pekerjaan : Sutradara atau ngga…..
pekerja seni. Bagus kan, Ma?”. Air muka Mama datar. Begitupun Papa. Kalo udah
ginisih, intinya.. “semoga-nindy-cepat-bangun-dari-tidurnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar